Sibetan adalah nama sebuah desa di Kecamatan Bebandem yang memiliki potensi alam
pertanian khas di Kabupaten Karangasem yang terkenal dengan tanaman salak.
Hampir seluruh penduduk di desa ini menjadi petani salak yang tersebar merata
di sisi kanan dan kiri sepanjang jalan desa dan jalan raya utama.
Untuk menuju lokasi agrowisata ini aksesnya sangat terbuka karena jalurnya
dilintasi oleh kendaraan umum angkutan kota.
Jaraknya sekitar 8 km ke arah barat dari Kota Amlapura – ibukota kabupaten –
dan ±20 km dari obyek wisata Candidasa. Hawa yang sejuk memberikan nilai tambah
bagi keberadaan obyek ini dimana pengelolaannya dilakukan oleh warga setempat
yang tergabung dalam kelompok sadar wisata Dukuh Lestari.
Terdapat ±15 jenis varietas salak yang tumbuh di Desa Sibetan, beberapa di
antaranya merupakan produk unggul, seperti salak nenas dan salak gula pasir
yang rasanya sangat manis, segar serta daging buah yang tebal. dan dengan. Masa
panen raya yang jatuh pada Bulan Desember– Pebruari membuat produksi salak
melimpah sehingga masyarakat setempat mengembangkan produk olahan buah salak menjadi
beraneka ragam jenis, seperti wine, dodol, kripik, syrup, dan manisan. Obyek
agrowisata ini banyak dikunjungi dan mendapat perhatian dari para peneliti dan
mahasiswa.
Candidasa
Candidasa merupakan salah satu kawasan pariwisata yang dikembangkan mulai tahun
1983. Pada mulanya nama Candidasa merupakan nama sebuah pura, yaitu Pura
Candidasa, yang terltak di atas bukit kecil dan dibangun pada abad ke-12 M.
Memiliki potensi alam dan pantai yang mempesona dengan pasir putihnya.
Pantai berpasir putih tersebut sebenarnya bernama Teluk Kehen, namun dalam
perkembangannya seiring ditetapkannya pantai tersebut menjadi obyek dan daya
tarik wisata, maka pantai Teluk Kehen berubah nama menjadi kawasan pariwisata
Candidasa sesuai dengan nama pura yang ada di wilayah itu.
Candidasa terletak di Dusun Samuh, Desa Bugbug, Kecamatan Karangasem, berjarak
12 km dari Kota Amlapura dan sekitar 45 km dari KotaDenpasar. Pesona alam yang
dikembangkan sebagai obyek wisata bahari inidapat menjadi pilihan untuk
melakukan berbagai aktifitas, seperti sun bathing, canoing, snorekling,fishing,
trekking melalui perbukitan, dan yang tak kalah menariknya adalah keberadaan
pulau-pulau kecil yang dapat dijangkau jaraknya dengan perahu nelayan
(jukung).Pulau-pulau kecil tersebut menyimpan potensi panorama bawah laut
berupa terumbu karang dan ikan hias.
Salah satu cerita yang menjadi mitos tentang keberadaan Pura Candidasa yang
berkembang dan diyakini oleh masyarakat setempat adalah Arca Dewi Hariti yang
terletak pada sebuah relung di bagian bawah tebing bukit. Konon dikisahkan
bahwa Dewi Hariti pada mulanya adalah seorang yaksa dalam Agama Budha yang
gemar memakan daging anak-anak. Namun setelah mendapat pencerahan ajaran Agama
Budha, Sang Dewi kemudian bertobat dan berbalik menjadi pelindung dan penyayang
anak-anak.
Arca Dewi Hariti selanjutnya dipahatkan bersama 10 orang anak-anak yang
mengerubutinya, sebagai ciri pelindung, penyayang, dan juga sebagai perlambang
kesuburan dan kemakmuran. Masyarakat setempat meyakini bahwa Dewi Hariti berarti
ibu beranak banyak yang dapat memberikan anugerah kesuburan dan kemakmuran.
Oleh karenanya maka tempat ini banyak didatangi dan dimanfaatkan oleh pasangan
suami – isteri yang belum dikaruniai keturunan untuk memohon do’a dengan
membawa sesajen yang dipersembahkan kepada Dewi Hariti.
Desa Iseh
Iseh adalah salah satu desa yang merupakan bagian dari Kecamatan Sidemen,
Kabupaten Karangasem. Iseh berkembang sebagai obyek dan daya tarik wisata karena
memiliki keindahan alam yang mempesona. Berjarak sekitar 42 km dari Kota
Denpasar, akses menuju Iseh dapat dicapai dengan kendaraan umum melalui jurusan
Desa Satria, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung.
Keindahan alam yang menjadi daya tarik dengan latar belakang kehidupan alam
pedesaan yang penuh ketenangan dan kedamaian banyak menarik minat wisatawan
untuk tinggal lebih lama. Hamparan petak-petak sawah yang bertingkat dengan
aktifitas para petani tradisional, sungai yang berkelok, serta panorama Gunung
Agung yang nampak di kejauhan merupakan satu kesatuan dari keindahan alam yang
mempesona.
Selain panorama alam, Iseh juga menarik untuk dimanfaatkan sebagai wisata
trekking. Di tempat ini pula bisa didapatkan kain tenun endek dan songket khas
Karangasem yang diproses dengan alat tenun tradisional ( ATBM ).
Iseh terkenal sejak zaman penjajahan. Pelukis terkenal dunia, Walter Spies (
1895–1942 ) pernah tinggal dan membangun gubuk kecil sebagai studio tempatnya
melukis. Di tempat ini banyak dihasilkan lukisan-lukisan terbaiknya. Di samping
melukis, Walter Spies juga tertarik empelajari gamelan, bahkan dia menjadi
penyokong 2 sekeha ( kelompok ) gamelan sebagai bentuk eratnya interaksi dengan
masyarakat setempat. Namun sayang, Walter Spies akhirnya menjadi korban ketika
pesawat pembom Jepang menenggelamkan kapal yang ditumpanginya dalam pengungsian
ke India
pada tahun 1942. Bali telah kehilangan salah
seorang sahabat terbaiknya. Pelukis terkenal lainnya yang kemudian muncul
adalah Theo Meier, seorang warga negara Swiss pada tanggal 31 Maret 1908. Desa
Iseh dengan latar belakang Gunung Agung, kehidupan masyarakat dan adat istiadat
setempat menjadi inspirasi obyek lukisannya. Kedua pelukis terkenal itu sangat
besar jasanya dalam memperkenalkan keindahan alam Desa Iseh.
Desa Tenganan
Desa Tenganan atau dikenal dengan Tenganan Pegeringsingan, merupakan salah satu
dari sejumlah desa kuno di Pulau Bali. Pola
kehidupan masyarakatnya mencerminkan kebudayaan dan adat istiadat desa Bali Aga
(pra Hindu) yang berbeda dari desa-desa lain di Bali. Karenanya Desa Tenganan
dikembangkan sebagai salah satu obyek dan daya tarik wisata budaya.
Lokasi Desa Tenganan Pegeringsingan terletak di Kecamatan Manggis, sekitar 17
km jaraknya dari Kota Amlapura, 5 km dari kawasan
pariwisata Candidasa, dan sekitar 65 km dari Kota Denpasar.
Sebagai obyek wisata budaya, Desa Tenganan memiliki banyak keunikan dan
kekhasan yang menarik untuk dilihat dan dipahami. Dari sistem kemasyarakatan
yang dikembangkan, bahwa masyarakat Desa Tenganan terdiri dari penduduk asli
desa setempat. Hal ini disebabkan karena sistem perkawinan yang dianut adalah
sistem parental dimana perempuan dan laki-laki dalam keluarga memiliki derajat
yang sama dan berhak menjadi ahli waris.
Hal ini berbeda dengan sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat di Bali
pada umumnya.Di samping itu, mereka juga menganut sistem endogamy dimana
masyarakat setempat terikat dalam awig-awig (hukum adat) yang mengharuskan
pernikahan dilakukan dengan sesama warga Desa Tenganan, karena apabila
dilanggar maka warga tersebut tidak diperbolehkan menjadi krama (warga) desa,
artinya bahwa ia harus keluar dari Desa Tenganan.
Daya tarik lain yang dimiliki Desa Tenganan adalah tradisi ritual Mekaré-karé
atau yang lebih dikenal dengan “perang pandan”. MekarĂ©-karĂ© merupakan bagian
puncak dari prosesi rangkaian upacara Ngusaba Sambah yang digelar pada setiap
Bulan Juni yang berlangsung selama 30 hari.
Selama 1 bulan itu, Mekaré-karé berlangsung sebanyak 2-4 kali dan setiap kali
digelar akan dihaturkan sesajen kepada para leluhur. MekarĂ©-karĂ© atau “perang
pandan” diikuti para lelaki dari usia anak-anak sampai orang-orang tua. Sesuai
namanya, maka sarana yang dipergunakan adalah daun pandan yang dipotong-potong
sepanjang ±30 cm sebagai senjata dan tameng yang berfungsi untuk menangkis
serangan lawan dari geretan duri pandan. Luka yang diakibatkan oleh geretan
duri pandan akan dibalur dengan penawar yang dibuat dari ramuan umbi-umbian,
seperti laos,
kunyit, dan lain-lain.
Mekaré-karé pada hakekatnya sama maknanya dengan upacara tabuh rah yang lazim
dilakukan oleh umat Hindu di Bali ketika melangsungkan upacara keagamaan. Dalam
upacara Mekaré-karé selalu diiringi dengan tetabuhan khas Desa Tenganan, yaitu
gamelan selonding.
Keunikan lain yang dimiliki oleh Desa Tenganan yang tidak dimiliki oleh daerah
lainya di Bali bahkan di Indonesia
adalah kerajinan tenun double ikat kain Gringsing. Kata Gringsing itu sendiri
berasal dari kata “gering” yang berarti sakit atau musibah, dan “sing” yang
artinya tidak, maka secara keseluruhan gringsing diartikan sebagai penolak
bala.
Proses pembuatan kain gringsing sangatlah unik dan memerlukan waktu yang lama (sampai 3 tahun), sehingga keberadaannya menjadi langka dan harganya cukup
mahal.
Kain gringsing wajib dimiliki oleh warga Desa Tenganan karena merupakan bagian
dari perlengkapn upacara, seperti dalam upacara ngaben (pembakaran jenazah) dimana kain gringsing ditempatkan pada pucuk badé (tempat mengusung mayat).
Selain itu pada upacara potong gigi, gringsing dipergunakan pula sebagai alas
bantal. Banyak cerita di masyarakat yang menyebutkan bahwa darah manusia
digunakan dalam pemberian warna pada benang unuk memperoleh warna yang
diinginkan. Hal ini disebabkan karena kain gringsing memang didominasi oleh
warna merah. Namun yang sebenarnya adalah bahwa bahan-bahan pewarna dalam
pembuatan kain gringsing berasal dari getah-getah kayu tertentu dan biji kemiri
yang diramu sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi sebagai pewarna.
Tidak banyak yang mengetahui bahwa keindahan alam Desa Tenganan berpotensi
sebagai wisata alternatif jalur trekking dengan melewati jalan desa,
perbukitan, dan juga hamparan sawah penduduk. Rute pendek jalur trekking ini
dapat ditempuh dalam waktu ±3-4 jam.
Jemeluk - Amed
Jemeluk – Amed berkembang sebagai salah satuobyek wisata bahari dan merupakan
primadona bagi wisatawan mancanegara dan nusantara. Terletak di Desa
Purwakerti, Kecamatan Abang, berjarak sekitar 19 km dari Kota Amlapura –
ibukota kabupaten –, 12 km dari Tulamben, 33 km dari obyek wisata Candidasa,
dan ±78 km dari Kota Denpasar. Obyek wisata ini termasuk dalam pengembangan
kawasan pariwisata Tulamben.
Daya tarik utama obyek wisata ini adalah panorama alam bawah laut yang
menyimpan potensi keindahan terumbu karang dengan beraneka ragam jenis ikan
hias. Keberadaan terumbu karang yang masih asli tetap diupayakan pelestariannya
dengan kehidupan nelayan dan aktifitas pembuatan garam tradisional oleh
masyarakat setempat juga menjadi daya tarik tersendiri.
Dari obyek wisata Amed kita dapat mencapai obyek wisata Taman Soekasada Ujung dengan
jarak tempuh sekitar 1,5 jam lamanya melalui jalur lintas timur dengan melewati
bibir tebing ujung timur Pulau Bali yang memiliki pemandangan eksotis di
sepanjang perjalanan. Pemandangan laut lepas dengan jejeran puluhan perahu atau
jukung nelayanmenjadi daya tarik yang tidak akan terlupakan dengan paduan
panorama perbukitan. Di tempat ini banyak dibangun villa dan akomodasi hotel
serta penginapan lainnya yang menawarkan fasilitas beragam.
Pelabuhan
Padangbai
Padangbai dikembangkan sebagai obyek wisata alam dan budaya barada dalam satu
kawasan pengembangan pariwisata Candidasa, terletak di Desa Padangbai,
Kecamatan Manggis – Karangasem. Jaraknya sekitar 25 km dari Kota Amlapura, 13
km dari obyek wisata Candidasa, dan sekitar 31 km dari Kota Denpasar.
Di tempat ini terdapat pelabuhan yang menjadi akses transportasi laut ke Pulau
Lombok – NTB. Nama Padangbai mendapat pengaruh dari Bahasa Belanda sebagai akibat dari adanya
masa penjajahan yang sebelumnya bernama Teluk Padang. Lokasi ini merupakan
sebuah teluk berpasir putih yang letaknya terlindung dari batu karang hitam
yang kokoh. Karena lokasinya, maka kehidupan alam bawah lautnya terpelihara
dengan baik.
Daya tarik yang dimiliki obyek wisata Padangbai di antaranya adalah pantai
berpasir putih bersih dan tebal sehingga dapat dimanfaatkan sebagai tempat
berjemur sinar matahari (sun bathing) atau berenang di laut. Keindahan
panorama alam bawah lautnya sangat baik untuk diving dan snorekling karena
menyimpan berbagai jenis terumbu karang dan ikan-ikan hias yang sangat indah. Di tempat ini juga terdapat blue lagoon yang eksotis dan selalu menjadi incaran
para wisatawan penyelam (divers).
Sebagai obyek wisata budaya, di Padangbai terdapat kompleks Pura Dang Kahyangan
(pura milik umat Hindu secara keseluruhan). Di sebelah timur pantai Padangbai
terdapat Pura Silayukti, yang didirikan oleh Empu Kuturan sekitar abad XI dalam
perjalanan sucinya ke Bali. Empu Kuturan
adalah seorang pendeta yang sangat besar jasanya dalam mengatur tata keagamaan
Hindu di Bali, dimana ajarannya tetap ditaati dan dilaksanakan oleh umat Hindu
di Bali sampai sekarang. Di sebelah selatan Pura Silayukti terdapat Pura
Tanjung Sari yang dibangun oleh Empu Bharadah, adik bungsu dari Empu Kuturan.
Dan di sebelah barat pelabuhan Padangbai terdapat Pura Penataran Agung yang
didirikan pada abad XVI oleh Dang Hyang Dwijendra yang terkenal pula dengan
sebutan Pedanda Sakti Wawu Rawuh, keturunan dari Empu Kuturan.
Pura Besakih
Pura Besakih terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, berada di lereng
sebelah barat daya Gunung Agung yang merupakan gunung tertinggi di Bali. Akses
dari Kota Denpasar untuk mencapai tempat ini berjarak sekitar 25 km ke arah
utara dari Kota Semarapura – Kabupaten Klungkung.
Perjalanan menuju Pura Besakih melewati panorama Bukit Jambul yang juga
merupakan salah satu obyek dan daya tarik wisata Kabupaten Karangasem.
Letak Pura Besakih sengaja dipilih di desa yang dianggap suci karena letaknya
yang tinggi, yang disebut Hulundang Basukih yang kemudian menjadi Desa Besakih.
Nama Besakih diambildari Bahasa Sansekerta, wasuki atau dalam bahasa Jawa Kuno
basuki yang berarti selamat. Selain itu, nama Pura Besakih didasari pula oleh
mithologi Naga Basuki sebagai penyeimbang Gunung Mandara.
Banyaknya peninggalan zaman megalitik, seperti menhir, tahta batu, struktur
teras pyramid yang ditemukan di kompleks Pura Besakih menunjukkan bahwa sebagai
tempat yang disucikan nampaknya Besakih berasal dari zaman yang sangat tua,
jauh sebelum adanya pengaruh Agama Hindu.
Kompleks Pura Besakih dibangun berdasarkan keseimbangan alam dalam konsep Tri
Hita Karana, dimana penataannya disesuaikan berdasarkan arah mata angin agar
struktur bangunannya dapat mewakili alam sebagai simbolisme adanya keseimbangan
tersebut. Masing-masing-masing-masing arah mata angin disebut mandala dengan
dewa penguasa yang disebut “Dewa Catur Lokapala” dimana mandala tengah sebagai
porosnya, sehingga kelima mandala dimanifestasikan menjadi “Panca Dewata”.
Penjabaran struktur bangunan Pura Besakih berdasarkan konsep arah mata angin
tersebut, adalah :
1. Pura Penataran Agung Besakih sebagai pusat mandala di arah Tengah dan
merupakan pura terbesar dari kelompok pura yang ada, yang ditujukan untuk
memuja Dewa Çiwa;
2. Pura Gelap pada arah Timur untuk memuja Dewa Içwara;
3. Pura Kiduling Kereteg pada arah Selatan untuk memuja Dewa Brahma;
4. Pura Ulun Kulkul pada arah Barat untuk memuja Dewa Mahadewa;
5. Pura Batumadeg pada arah Utara untuk memuja Dewa Wisnu.
Puri Agung Karangasem
Puri Agung Karangasem terletak di pusat Kota Amlapura – ibukota kabupaten –
jaraknya sekitar 65 km dari Kota Denpasar, 12 km dari kawasan pariwisata
Candidasa, 5 km ke Taman Soekasada Ujung, dan sekitar 6 km ke obyek wisata
Taman Tirtagangga. Dibangun pada abad ke-19 M oleh Anak Agung Gede Jelantik,
Raja Karangasem I. Selain Puri Agung, terdapat 2 (dua) buah puri lain dalam
areal kerajaan yang memiliki keterkaitan erat dengan Puri Agung, yaitu Puri
Gede dan Puri Kertasura. Daya tarik utama Puri Agung adalah kemegahan arsitektur bangunannya yang merupakan
perpaduan antara arsitektur Bali,
China, dan Eropa. Puri Agung terdiri dari 3 (tiga) bagian areal. Bagian depan atau entrance
disebut “bencingah”, tempat dimana diadakan pertunjukan kesenian tradisional,
sedangkan sisi di sebelah kanan dan kiri diperuntukkan sebagai tempat menerima
tamu.
Bagian tengah disebut “jaba tengah” yang dimanfaatkan sebagai kebun, dimana di
tempat ini terdapat 2 buah pohon lychee yang sudah sangat tua. Dan bagian dalam
areal berfungsi sebagai tempat bangunan utama yang disebut “maskerdam” yang
mengadaptasi nama Kota Amsterdam di Belanda, karena pembangunannya dilakukan
ketika Raja Karangasem menjalin hubungan persahabatan dengan pemerintah
kerajaan Belanda. Bangunan ini dipergunakan sebagai istana raja. Bangunan lain
di belakang maskerdam disebut “london”
dipergunakan sebagai tempat tinggal keluarga raja. Pemberian nama demikian
didasarkan karena Kota London di Inggris berdekatan dengan Kota Amsterdam di
Belanda, maka nama-nama itupun diadaptasi ke dalam bangunan puri.
Di depan Istana Maskerdam terdapat “Bale Pemandesan” yang berfungsi sebagai
tempat upacara potong gigi atau juga sebagai tempat penyimpanan sementara
jenazah para keluarga puri hingga saatnya upacara pelebon (ngaben)
dilaksanakan. Di dekat bangunan ini menghadap
ke kolam terdapat patung singa bersayap yang besar. Di depan Bale Pemandesan
terdapat “Bale Pawedaan” atau “Bale Lunjuk” sebagai tempat dimana para pendeta
melakukan pemujaan dan persembahyangan bila upacara keagamaan berlangsung. Ada juga “Bale Kambang”
atau Gili di tengah-tengah kolam yang berfungsi sebagai tempat pertemuan
keluarga besar puri atau dipergunakan juga sebagai tempat latihan menari dan
berkesenian lainnya.
Putung
Putung terletak di Desa Duda Timur, Kecamatan Selat. Jaraknya sekitar 64 km
dari Kota Denpasar, ±19 km dari Kota Amlapura – ibukota kabupaten – dan mudah
dicapai dengan angkutan umum. Dikembangkan sebagai obyek wisata alam karena
letaknya di daerah pegunungan yang dikelilingi oleh perkebunan salak.
Daya tarik utama obyek wisata Putung adalah keindahan alam yang merupakan
perpaduan antara panorama perbukitan, lembah, laut, hutan, dan perkebunan salak
dengan hawa sejuk menyegarkan. Dari tempat ketinggian dapat dilihat petak-petak
sawah milik penduduk di Desa Adat Buitan – Kecamatan Manggis dan Labuhan Amuk
dengan lautnya yang membentang luas membiru dengan perahu-perahu ( jukung )
nelayan yang sedang berlayar, kapal pesiar ( cruise ) yang kebetulan datang
bersandar, dan dikejauhan Pulau Nusa Penida milik Kabupaten Klungkung nampak
jelas terlihat. Obyek wisata Putung berdekatan lokasinya dengan obyek
agrowisata salak Sibetan di Kecamatan Bebandem.
Putung menjadi terkenal dengan keindahan panorama alamnya berkat lukisan Mr.
Christiano, seorang pelukis asal Italia yang tinggal beberapa lama di Putung
dan memperistri seorang wanita Karangasem dari Desa Manggis.
Taman Ujung
Taman Soekasada Ujung merupakan situs kerajaan, terletak dekat pantai di Desa
Tumubu, Kecamatan Karangasem yang dikembangkan sebagai salah satu kawasan pariwisata
Kabupaten Karangasem. Jaraknya ±5 km dari Kota Amlapura – ibu kota kabupaten –
ke arah selatan, ±15 km dari kawasan pariwisata Candidasa, dan kira-kira 60 km
jaraknya dari Kota Denpasar.
Taman Soekasada Ujung dibangun pada tahun 1919 pada masa pemerintahan Raja I
Gusti Bagus Jelantik (1909 – 1945) yang bergelar Anak Agung Agung Anglurah
Ketut Karangasem dan diresmikan penggunaannya pada tahun 1921. Taman ini dipergunakan sebagai tempat peristirahatan raja
selain Taman Tirtagangga, dan juga diperuntukkan sebagai tempat menjamu
tamu-tamu penting seperti raja-raja atau kepala pemerintahan asing yang
berkunjung ke kerajaan Karangasem.
Dalam areal Taman Soekasada Ujungterdapat beberapa bangunan jugakolam besar dan
luas. Ada3 (tiga) buah pintu masuk atau gerbang menuju areal taman. Gerbang
utamaberada pada ketinggian di sisi barat sebagai entrance yang disebut
“BaleKapal” karena dulunya bangunan ini dibuat menyerupai sebuah
kapal.Selanjutnya dari entrance baleini pengunjung menuju areal taman dengan
menuruni ratusan buah anak tangga.Dari tempat inilah keseluruhan areal taman
dapat dinikmati.
Taman Soekasada Ujung dikembangkan seagai obyek wisata budaya karena kemegahan
dan kekhasan bangunan yang merupakan perpaduan antara arsitektur Bali dan Eropa. Kondisinya yang rusak berat akibat
letusan Gunung Agung – gunung terbesar di Bali – pada tahun 1963 semakin
diperparah lagi dengan terjadinya gempa hebat di tahun 1976 yang meninggalkan
puing-puing bangunan, namun tidak meninggalkan kesan megahnya. Untuk mengembalikan
kemegahan Taman Soekasada Ujung, maka pada tahun 2001-2003 Pemerintah Kabupaten
Karangasem memanfaatkan dana bantuan Bank Dunia membangun kembali Taman
Soekasada Ujung dengan tujuan untuk mengembalikan keberadaannya kepada bentuk
semula demi melestarikan warisan budaya yang menjadi kebanggaan Karangasem.
Dalam areal Taman Soekasada Ujung terdapat beberapa bangunan juga kolam besar
dan luas. Ada 3
(tiga) buah pintu masuk atau gerbang menuju areal taman. Gerbang utama berada
pada ketinggian di sisi barat sebagai entrance yang disebut “Bale Kapal” karena
dulunya bangunan ini dibuat menyerupai sebuah kapal. Selanjutnya dari entrance
bale ini pengunjung menuju areal taman dengan menuruni ratusan buah anak
tangga. Dari tempat inilah keseluruhan areal taman dapat dinikmati.
Sesuai predikatnya sebagai Taman Air Kerajaan atau The Water Palace, maka Taman
Soekasada Ujung memiliki 3 (tiga) buah kolam besar dan luas. Di tengah kolam
I di sisi paling utara terdapat bangunan utama yang disebut “Bale Gili” yang dihubungkan
oleh jembatan menuju arah selatan.
Di tengah-tengah kolam ini terdapat patung-patung dan pot-pot bunga. Di sebelah
barat kolam I, di tempat yang agak tinggi terdapat bangunan berbentuk bundar,
yang disebut “Bale Bunder” yang difungsikan sebagai tempat untuk menikmati
keindahan taman dan panorama alam di sekitarnya. Di sebelah barat laut Bale
Bunder, pada areal terasering yang tinggi terdapat bangunan persegi empat
panjang yang disebut “Bale Lunjuk”. Ada
sekitar 107 anak tangga menuju bangunan ini dari arah timur. Di tengah kolam II
di sisi selatan kolam I terdapat bangunan yang disebut “Bale Kambang”. Bangunan
ini dahulu berfungsi sebagai tempat jamuan makan untuk para tamu kerajaan. Di
sebelah timur kolam II terdapat kolam III yang disebut Kolam Dirah dan
merupakan kolam pertama yang dibuat oleh Raja Karangasem. Di areal sebelah
utara taman, di tempat yang tinggi terdapat patung “warak” (badak) dan juga
patung “banteng” yang dari mulut kedua patung tersebut air memancur keluar
menuju kolam. Dan sekitar 250m di sebelah utara taman ini tedapat sebuah pura
bernama “Pura Manikan” yang juga dibangun oleh Raja Karangasem.
Taman Tirta Gangga
Taman Tirta Gangga merupakan salah satu daya tarik wisata yang terletak di Desa
Ababi, Kecamatan Abang. Jaraknya sekitar 5 km ke arah utara dari Kota Amlapura. Dibangun pada tahun 1948 oleh Raja Anak Agung Agung
Anglurah Ketut Karangasem.
Sebelum dibangun, taman ini merupakan areal mata air besar dan masyarakat
menyebutnya dengan embukan, artinya mata air. Mata air ini difungsikan oleh
pnduduk dari desa-desa sekitarnya sebagai tempat mencari air minum dan tempat
pesiraman atau penyucian Ida Betara (para dewa), oleh karena itu mata air itu
disakralkan oleh penduduk setempat. Dari mata air inilah kemudian Raja
Karangasem mendapat ide untuk membangun sebuah taman terlebih karena alamnya
didukung oleh udara yang sejuk, yang kemudian diberi nama Taman Tirtagangga.
Sama halnya dengan Tama Soekasada Ujung, maka Tama Tirtagangga memiliki
keterikatan kuat dengan Puri Agung Karangasem.
Dalam areal Tama Tirtagangga terdapat beberapa kolam besar yang difungsikan
sebagai kolam ikan dan tempat permandian. Air yang mengalir melalui
pancuran-pancuran besar dan kecil yang keluar dari mulut patung-patung di kolam
ini berasal dari sumber mata air sehingga terasa sejuk dan menyegarkan. Di
tempat ini terdapat menara air mancur dan patung teratai bertingkat yang
membagi dua buah kolam besar.
Pada masa kini Taman Tirtagangga berfungsi secara religius, sosial, dan juga
sebagai hiburan. Secara religius, mata air di tempat tersebut dimanfaatkan
sebagai air suci bagi masyarakat sekitarnya di samping sebagai tempat untuk
upacara Dewa Yadnya dan Metirtayatra.
Secara sosial, sumber mata air Tirtagangga dimanfaatkan oleh pemerintah daerah
sebagai sumber air bersih bagi masyarakat Karangasem. Dan sebagai hiburan,
Taman Tirtagangga dikelola dan dikembangkan sebagai salah satu obyek dan daya
tarik wisata yang banyak diminati serta dikunjungi sebagai tempat rekreasi.
By : Agus Heriyanta Adikayana
Dari berbagai sumber